Tekanan Ekonomi vs. Keselamatan Jiwa: Analisis Tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali
Jakarta, Cosmopolitanpost.com
Tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya di Selat Bali pada Rabu malam, 2 Juli 2025, menjadi luka mendalam bagi dunia transportasi laut Indonesia. Dalam waktu kurang dari 30 menit setelah bergerak dari Pelabuhan Ketapang, kapal yang hendak menuju Gilimanuk itu karam di perairan yang dikenal ramai lalu lintas dan rawan arus kuat.
Pengamat maritim dari IKAL Strategic Center (ISC), DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., S.H., M.H., M.Mar., menyampaikan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut yang bukan hanya mengakibatkan puluhan penumpang maupun Awak Kapalnya belum ditemukan, tetapi juga memicu keprihatinan luas atas lemahnya sistem keselamatan pelayaran nasional. Menurutnya, dengan memuat 22 kendaraan termasuk 14 truk tronton, serta 65 orang di dalamnya, tragedi ini menjadi cermin telanjang dari rapuhnya pelaksanaan prosedur keselamatan di atas kapal, baik dari aspek teknis, operasional, maupun tanggung jawab kelembagaan.
“Di kapal penyeberangan, truk dan kendaraan berat bukan hanya sekadar penumpang pasif, tetapi juga menjadi beban dinamis yang harus dikendalikan. Setiap kendaraan yang masuk ke dalam dek kapal seharusnya langsung dilashing—yakni diikat dengan sistem pengaman khusus agar tidak bergerak saat kapal digoyang ombak atau terjadi guncangan,” jelas DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, S.SiT., M.Mar., di Jakarta, (03/07/2023).
Diingatkan oleh pengamat maritim yang dikenal kritis ini, bahwa tanpa pelaksanaan lashing yang disiplin, kendaraan bisa bergeser dan mengganggu stabilitas kapal, bahkan memicu kemiringan dan tenggelamnya kapal. Tidak boleh ada alasan apa pun yang membenarkan tidak dilakukan lashing, baik itu alasan waktu, ketiadaan alat, atau tekanan jadwal pelayaran. Ini bukan soal efisiensi, tapi soal nyawa manusia.
“Sangat disayangkan, praktik keselamatan di lapangan sering kali kalah oleh tuntutan pragmatisme ekonomi. Pengejaran jadwal pelayaran yang padat, tekanan dari pemilik kendaraan atau sopir, hingga kelonggaran dari petugas lapangan menjadi kombinasi berbahaya yang membuka celah bagi tragedi. Padahal, Peraturan Menteri Perhubungan secara tegas mewajibkan pengamanan muatan sebagai bagian tak terpisahkan dari kelayakan pelayaran,” tutur Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa.
Menurut Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, dalam realitasnya masih banyak kapal berangkat tanpa inspeksi menyeluruh, dan tak jarang petugas menutup mata demi kelancaran operasional. Dalam konteks inilah, tenggelamnya KMP Tunu Pratama Jaya tidak bisa hanya dilihat sebagai kecelakaan teknis, tetapi juga sebagai kegagalan etis dan kelembagaan. “Makanya insiden ini menyoroti kembali kebutuhan mendesak akan reformasi menyeluruh dalam tata kelola keselamatan transportasi laut,” tegas Capt. Hakeng.
Ditambahkan olehnya bahwa sistem pengawasan di pelabuhan harus diperketat dan diawasi secara berlapis, tidak cukup hanya dengan cek manifest atau pemeriksaan visual seadanya. Syahbandar dan operator pelabuhan harus bertanggung jawab penuh atas kelayakan pelayaran, dan tidak boleh ada kompromi terhadap kapal yang tidak memenuhi standar.
“Pemerintah pusat juga melalui Kementerian Perhubungan, harus mengaudit ulang seluruh armada kapal penyeberangan aktif, khususnya yang melintasi jalur-jalur strategis seperti Selat Bali,” ujar Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa.
Ditekankan pula olehnya bahwa tanggung jawab juga tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah pusat. “Pemerintah daerah, BUMN pengelola pelabuhan, hingga perusahaan swasta penyedia jasa transportasi laut harus mengembangkan budaya keselamatan bersama. Tidak cukup hanya dengan memasang baliho peringatan atau menyusun SOP di atas kertas. Dibutuhkan komitmen nyata dan pengawasan internal yang efektif, termasuk pemberian sanksi kepada personel yang lalai,” ujarnya.
Selain itu Capt. Hakeng mengingatkan pula bahwa untuk memperkuat kapasitas operator dan awak kapal dalam memahami dan menjalankan prosedur darurat, maka sertifikasi keselamatan harus ditinjau ulang secara berkala, bukan hanya formalitas administratif. “Simulasi penyelamatan dan evakuasi di tengah laut juga harus menjadi latihan rutin, bukan kegiatan seremonial,” kata Capt. Marcellus Hakengseraya menekankan bahwa penumpang pun harus diberi pemahaman tentang aspek keselamatan, termasuk kesadaran terhadap posisi pelampung, jalur evakuasi, dan prosedur saat terjadi gangguan.
“Pendidikan keselamatan harus dimulai sejak pembelian tiket dan saat penumpang mulai naik ke kapal. Keselamatan tidak bisa ditunda-tunda atau dianggap sebagai urusan belakang, karena laut tidak pernah memberi ampun terhadap kecerobohan,” imbuh Capt. Marcellus Hakeng. Maka, sambung Capt. Hakeng, Tragedi KMP Tunu Pratama Jaya harus menjadi pelajaran kolektif, bukan sekadar headline berita.
Kepedihan keluarga korban tidak boleh berlalu begitu saja tanpa perbaikan sistemik. Negara harus hadir tidak hanya saat evakuasi dan pencarian dilakukan, tetapi juga dalam mencegah tragedi serupa terjadi lagi.
“Solusi ke depan bukan hanya pada peningkatan jumlah kapal SAR atau mempercepat respon darurat, tetapi membangun budaya keselamatan yang hidup dan mengakar di seluruh lini transportasi laut,” tegas Capt. Hakeng. (*)