Jakarta, Cosmopolitanpost.com
Jakarta, 23 September 2025 – Perilisan laporan penelitian Indonesian Parliamentary Center di 3 daerah dilaksanakan dengan diskusi media bertema, “Mendesak Peran DPR atas Ketimpangan kebijakan Nationally Determined Contribution” bertepatan dengan diskusi media ini – Presiden Prabowo Subianto dijadwalkan hadir dalam Sidang Umum PBB di New York -Kehadiran ini bukan sekadar agenda diplomatik, tetapi menjadi panggung penting untuk menegaskan posisi Indonesia dalam isu global perubahan iklim.
Karena itu, Pemerintah menargetkan penyerahan dokumen Second Nationally Determined Contribution (NDC) dilakukan sebelum Presiden bertolak ke agenda tersebut, agar dunia melihat komitmen Indonesia menuju Net Zero Emission (NZE).
Namun, hingga diskusi media ini digelar, belum ada tanda-tanda pemerintah telah mengumpulkan draf Second Nationally Determined Contribution kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Hal in menjadi paradoks mengingat presiden sendiri berkali-kali mengungkapkan ambisinya untuk di berbagai forum mengenai komitmennya mengatasi krisis iklim, termasuk menyebutkan komitmen transisi menuju 100% energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan di dalam pidato kenegaraannya. Di sisi lain, komitmen iklim negara memang patut dipertanyakan, tak hanya dari sisi ambisi dan kebijakan yang digaungkan eksekutif, namun juga peran legislative dalam merumuskan kebijakan dan mengawasi kinerja eksekutif dalam mengatasi problem krisis iklim yang kian berdampak nyata.
Pemantauan IC menemukan bahwa pembahasan mengenai iklim masih belum menjadi prioritas di dalam kerja-kerja DPR. Hal ini ditegaskan dari total jumlah 818 rapat yang dilaksankan seluruh AKD di DPR di masa sidang II s.d. IV periode 2024-2025, pembahasan mengenai iklim hanya muncul sebanyak 122 di antaranya- atau hanya menyumbang sebanyak 17,53% dari seluruh pembahasan isu di DPR. Sedikitnya pembahasan mengenai isu iklim ini sayangnya juga tak dibarengi dengan pembahasan mengenai berimbanya isu sektoral mengenai iklim di DPR. Di dalam temuan IPC juga dijelaskan bahwa hanya isu-isu mengenai energi yang secara signifikan dibahas di dalam Komisi IV dan XII yang bertalian dalam fokusnya mengawal isu-isu iklim. Energi dibahas sebanyak 51 kali di rapat 2 AKD ini, diikuti sektor pertanian sebanyak 21 kali, perubahan iklim sebanyak 12 kali, serta dikuti isu-isu iklim dan lingkungan yang lain seperti pengolahan limbah sebanyak 8 kali, IPPU (Proses Industri dan Ponggunaan Produk) sebanyak 4 Kali, dan FOLU (Kehutanan dan Penggunaan Lahan Lainnya) sebanyak 2 kali. Sementara di sisi legislasi, pembahasan beberapa RUU yang berkaitan dengan isu iklim masih mandek dan kurang aksesibel. Setidaknya ada empat RUU yang berkaitan dengan iklim yang tengah dibahas DPR saat ini, yaitu RUU Kebumian, RUU Ketenagalistrikan, RUU Migas, dan RUU EBET. Dari 4 RUU tersebut, hanya RUU Kebumian dan RUU Ketenagalistrikan yang seluruhnya dibahas secara terbuka, sedangkan RUU EBET dan RUU Migas seluruhnya dibahas secara tertutup. Sementara itu, RUU lain seperti RUU Keadilan Iklim / Pengelolaan Perubahan Iklim, Revisi RUU Kehutanan, RUU Masyarakat Adat, serta beberapa RUU lainnya belum terlina, progress pembahasannya.
Permasalahan mandeknya proses pengumpulan dan pembahasan SNDC Indonesia ini, ditambah dengan masih adanya ketimpangan kebijakan di pusat dan daerah yang menghambat daerah, yaitu Aceh, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara. Penelitian di 3 daerah tersebut menjelaskan masih adanya berbagai permasalahan dalam implementasi NDC. Hal-hal tersebut di antara lain: masih adanya disharmoni kebilakan dari pusat dan regulasi sektoral yang masih pro-investasi ekstraktif, mash minimnya partisipasi publik dalam penyusunan, implementasi, dan sosialisasi kebiakan; serta kesenjangan implementasi, transparansi, dan evaluasi dalam jalannya kebijakan NDC di daerah.
Dari diskusi media yang digelar di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya ini, juga semakin menegaskan mash adanya peran DPR yang harus ditingkatkan dalam proses mengawal, menyusun, dan mengawasi kebijakan iklim, terkhusus dalam proses perumusan dan implementasi NDC. Belum menjadi prioritasnya isu iklim dibahas di legislatif, minimnya keterlibatan legislatif dalam pelaksanaan NDC, seta pembatasan peran legislatif lewat peraturan sektoral dari pemerintah masih menjadi hambatan optimalisasi peran DPR ini.
Namun, berkaca pada hal tersebut, bukan berarti DPR tidak bisa melakukan hal-hal signifikan untuk berperan dalam pelaksanaan kebijakan iklim. Oleh karena itu, kami dari IPC mendorong DPR untuk:
- Memperkuat Fungsi Pengawasan: DPR harus proaktif menjalankan fungsi pengawasan untuk memastikan kebijakan iklim berjalan sesuai hukum dan kepentingan rakyat.
- Menguatkan Kerangka Regulasi: DPR perlu memperkuat kerangka regulasi melalui fungsi legislasi.
- Memastikan Anggaran yang Memadai: DPR perlu memastikan ketersediaan anggaran yang memadai dan tepat sasaran untuk mendukung agenda mitigasi dan adaptasi.
- Menjadikan Agenda Iklim Prioritas: Diperlukan komitmen politik yang lebih kuat dari para legislator untuk menjadikan agenda iklim sebagai prioritas nasional.
Jurnalis: Hendra