Celoteh Abah : Evaluasi Kritis 1 Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran

banner 468x60

Celoteh Abah :
Evaluasi Kritis 1 Tahun
Pemerintahan
Prabowo-Gibran

 

Jakarta, Cosmopolitanpost.com,

 

Prolog Rasional
Secangkir Kopi dan Wajah Negeri Setelah Setahun

Di Megapolitan Strategis Indonesia, kami percaya bahwa tugas intelektual yang paling mulia adalah menyediakan cermin yang jernih bagi bangsa dan parap8 pemimpinnya. Setahun adalah waktu yang singkat untuk mengubah nasib sebuah
negeri, tetapi lebih dari cukup untuk menunjukkan watak, arah, dan tantangan
fundamental sebuah kepemimpinan.

Karya tulis ini, yang sengaja disajikan dalam gaya “Celotehan Abah”, adalah upaya kami untuk menerjemahkan analisis yang rumit ke dalam refleksi yang jujur dan
mudah dipahami. Ini bukanlah sebuah laporan teknokratis yang kering, melainkan
sebuah undangan untuk merenung. Laksana menyeruput secangkir kopi, ada rasa
pahit dari kenyataan yang harus kita telan, namun selalu diiringi harapan akan ada
manis kebijakan yang tersisa di akhir.

Tulisan ini merangkum kegelisahan, mengurai paradoks, dan mempertanyakan
pilihan-pilihan sulit yang ada di hadapan kita.

Tujuannya bukan untuk menjatuhkan,
melainkan untuk membangunkan; bukan untuk membenci, melainkan untuk
mengingatkan dengan cinta pada kebenaran.

Celoteh Abah Direktur Eksekutif Megapolitan Strategis Indonesia

BAB I: PARADOKS STABILITAS – DI BALIK KOKOHNYA TEMBOK
KEKUASAAN

Pencapaian paling nyata dari satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran adalah
terwujudnya stabilitas politik. Laksana seorang panglima, Presiden Prabowo dengan
cepat membangun sebuah benteng kekuasaan yang nyaris tak tertembus melalui
“koalisi gemuk”.

Hasilnya? Agenda pemerintah melenggang mulus.

Namun, di balik tembok kekuasaan itu, kita harus bertanya: berapa biaya yang harus kita bayar?

Stabilitas ini memiliki ongkos yang mahal. Politik transaksional
menjadi napasnya. Kursi-kursi di kabinet dan BUMN menjadi alat tukar untuk
menjaga loyalitas, mengorbankan meritokrasi. Lebih dari itu, dominasi absolut ini
secara sistematis melemahkan fungsi kontrol (checks and balances). Stabilitas yang
kita saksikan hari ini adalah stabilitas hening yang berisiko menyembunyikan masalah,
dibangun di atas kesepakatan politik, bukan partisipasi dan kepercayaan publik.

BAB II: DERITA MESIN DEMOKRASI – SUPREMASI SIPIL DI BAWAH UJIAN

Mesin demokrasi kita berderit. Respons pemerintah terhadap gejolak sosial dengan
narasi keamanan dan tudingan “makar” menjadi penanda. Pilihan ini adalah
justifikasi untuk pendekatan represif dan menempatkan aparat keamanan di garda
terdepan, sebuah momen di mana supremasi sipil diuji secara fundamental.
Krisis kepercayaan publik terhadap Kepolisian (Polri) menjadi puncak masalah.

Tuntutan reformasi Polri secara total membuktikan bahwa stabilitas keamanan sejati
tidak bisa dicapai melalui kekuatan, melainkan melalui keadilan dan kepercayaan.

Pemerintahan ini dihadapkan pada pilihan: terus menggunakan pendekatan keamanan
yang menciptakan “iklim ketakutan” (chilling effect), atau mendengarkan suara rakyat dan melakukan reformasi institusi keamanan secara tulus.

 

BAB III: PENYAKIT KRONIS BIROKRASI – BEBAN BUMN DAN
LEMBAGA TAK BERGIGI

Efisiensi dan efektivitas adalah mantra pemerintah. Namun, ia terhambat oleh
penyakit kronis birokrasi.

Pertama, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang dalam banyak kasus, justru menjadi beban akibat praktik balas jasa politik yang
merusak profesionalisme.

Kedua, menjamurnya lembaga-lembaga ad hoc yang tumpang tindih, boros anggaran, dan hanya menghasilkan “rekomendasi tak
bergigi”.

Menyembuhkan penyakit ini menuntut keberanian politik seorang pemimpin untuk mengamputasi bagian yang busuk, bahkan jika bagian itu adalah kawan atau
pendukung setianya sendiri. Tanpa keberanian ini, visi Indonesia Emas 2045 akan
terus terhambat oleh langkah birokrasi yang lamban dan korup.

BAB IV: PANGGILAN UNTUK ‘PRAJURIT PROFESIONAL’ – PELUANG
DAN SYARAT PENGABDIAN

Di tengah tantangan ini, ada secercah harapan. Ambisi besar pemerintah menciptakan
kebutuhan mendesak akan talenta dan keahlian. Pintu bagi para profesional, teknokrat,
dan diaspora kini sedikit terbuka. Namun, ini bukanlah undangan pesta, melainkan
panggilan tugas dengan syarat yang jelas.

Pemerintahan ini tidak hanya mencari individu yang pintar, tetapi mencari “prajurit
profesional”. Mereka adalah para eksekutor andal yang tidak hanya membawa
keahlian, tetapi juga memahami realitas politik dan loyal pada visi besar Panglima
Tertinggi. Peluang ini adalah tantangan bagi putra-putri terbaik bangsa untuk
mengabdi di dalam sistem, dengan segala kompromi dan tekanannya, demi
memberikan kontribusi nyata.
REFLEKSI PENUTUP: DI SIMPANG JALAN – MOMENTUM REFORMASI
ATAU STAGNASI?
Satu tahun berlalu. Mesin kekuasaan yang perkasa telah dibangun. Stabilitas politik
telah tercapai. Kini, tibalah kita di persimpangan jalan paling menentukan: untuk apa
kekuasaan sebesar ini akan digunakan?
 Jalan Pertama adalah jalan Stagnasi yang Stabil. Menggunakan kekuasaan
untuk menjaga ketenangan di permukaan, sambil membiarkan masalah
fundamental terus menggerogoti bangsa dari dalam.
 Jalan Kedua adalah jalan Reformasi yang Revolusioner. Menggunakan
kekuasaan untuk membongkar tatanan lama yang korup, membersihkan institusi,
dan membuka ruang demokrasi yang sehat, meskipun jalan ini terjal dan penuh
risiko.
 Warisan sebuah kepemimpinan tidak diukur dari seberapa tenang masa
pemerintahannya, tetapi dari seberapa berani ia menghadapi masalah-masalah
terbesar bangsanya.

 

Pilihan ada di tangan Nakhoda kita.

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *