Sebuah ironi besar sedang dipertontonkan di panggung kebangsaan kita. Di satu sisi, Indonesia dipuja-puji di forum internasional sebagai contoh negara berpenduduk Muslim terbesar yang demokratis dan toleran. Narasi harmoni dan Bhinneka Tunggal Ika sering dipakai hanya komoditas retorika yang laris dijual oleh para oknum elite politik. Namun, di sisi lain, di gang-gang sempit perkampungan hingga di ruang-ruang birokrasi pemerintahan daerah, masih saja terjadi sebuah realitas pahit yang acap kali menggerogoti fondasi kebangsaan itu sendiri: kebebasan beribadah yang dijamin konstitusi seringkali tak lebih dari sekadar teks mati, terutama bagi kelompok minoritas seperti umat Kristiani.
Negara ini seolah menderita amnesia konstitusional. Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan dengan sangat gamblang dan tanpa ruang untuk multi-interpretasi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Jaminan ini bersifat mutlak, tanpa syarat. Ia adalah janji suci para pendiri bangsa yang membayangkan sebuah rumah besar bernama Indonesia, di mana setiap anak bangsa, apa pun keyakinannya, dapat berdoa dan menyembah Tuhannya dengan rasa aman dan damai. Namun, apa yang terjadi di lapangan adalah sebuah pengkhianatan sistematis terhadap janji luhur tersebut. Ibadah yang dibubarkan paksa, gereja yang disegel, dan perizinan rumah ibadah yang dipersulit hingga puluhan tahun adalah borok yang terus membusuk, menodai wajah toleransi yang kita bagun dan banggakan.
Akar masalah dari diskriminasi institusional ini dapat ditelusuri pada satu regulasi yang problematis: Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Alih-alih menjadi jembatan kerukunan, peraturan ini justru menjelma menjadi tembok birokrasi dan legalisasi bagi tirani mayoritas.
Secara rasional, persyaratan pendirian rumah ibadah dalam PBM ini sering dipersulit untuk dipenuhi oleh kelompok minoritas. Syarat dukungan 60 warga sekitar yang disetujui oleh lurah atau kepala desa dan daftar nama sedikitnya 90 orang pengguna rumah ibadah menjadi senjata ampuh bagi kelompok intoleran untuk menolak kehadiran rumah ibadah agama lain. Di wilayah yang homogen, di mana komunitas Kristiani adalah minoritas kecil, mengumpulkan 60 tanda tangan dari warga yang berbeda keyakinan seringkali menjadi misi yang sia-sia. Persyaratan ini secara de facto memberikan hak veto kepada mayoritas atas hak konstitusional minoritas. Logika hukum yang sehat akan bertanya: sejak kapan pelaksanaan hak asasi manusia yang fundamental harus bergantung pada persetujuan tetangga? Ini adalah sesat pikir yang berbahaya, yang mereduksi hak konstitusional menjadi sekadar konsensus sosial tingkat RT/RW.
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), yang idealnya menjadi mediator, dalam banyak kasus justru menjadi bagian dari masalah. Dominasi kelompok mayoritas dalam struktur FKUB di beberapa daerah membuat rekomendasi yang dikeluarkan seringkali bias dan lebih mencerminkan kehendak mayoritas ketimbang prinsip keadilan dan kesetaraan. Akibatnya, PBM 2006 tidak lagi berfungsi sebagai alat untuk memelihara kerukunan, melainkan sebagai instrumen legal untuk menekan dan menghambat perkembangan komunitas agama minoritas.
Data dan fakta berbicara lebih keras daripada retorika toleransi. Laporan tahunan dari lembaga-lembaga kredibel seperti Setara Institute dan Wahid Foundation secara konsisten menunjukkan bahwa pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) masih menjadi tren yang mengkhawatirkan. Kasus-kasus penutupan gereja, pelarangan ibadah, dan intimidasi terhadap jemaat bukanlah insiden sporadis, melainkan sebuah pola yang berulang di berbagai daerah, dari Jawa Barat, Banten, hingga Sumatera.
Kita tidak bisa melupakan kasus-kasus ikonik yang menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di negeri ini. Perjuangan jemaat GKI Yasmin di Bogor dan HKBP Filadelfia di Bekasi adalah monumen hidup dari kegagalan negara. Meskipun telah mengantongi putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap, hak mereka untuk beribadah di gereja mereka sendiri dirampas oleh tekanan massa dan kelambanan, bahkan keengganan, aparat pemerintah daerah untuk mengeksekusi putusan pengadilan. Ketika putusan lembaga yudikatif tertinggi di negeri ini bisa diabaikan begitu saja demi “menjaga kondusivitas”–sebuah frasa yang seringkali menjadi pembenaran untuk tunduk pada tekanan kelompok intoleran–maka kita sedang menyaksikan supremasi hukum yang digadaikan demi supremasi massa.
Fenomena ini melahirkan apa yang disebut sebagai “mobokrasi” atau pemerintahan oleh gerombolan. Kelompok-kelompok intoleran, dengan merasa mendapat pembenaran dari PBM 2006 dan lemahnya aparat, bertindak seolah-olah mereka adalah penegak hukum. Mereka melakukan sweeping, membubarkan ibadah, dan menyegel gereja dengan dalih tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB), padahal proses pengajuan IMB itu sendiri sengaja dipersulit atau dihambat. Negara, dalam hal ini aparat keamanan dan pemerintah daerah, seringkali hanya menjadi penonton pasif, atau lebih buruk lagi, memfasilitasi kehendak massa dengan alasan keamanan. Ini bukan lagi soal kerukunan, ini soal impunitas yang dibiarkan tumbuh subur.
Dampak dari situasi ini jauh lebih dalam dari sekadar bangunan fisik yang disegel. Ia merobek luka psikologis dan spiritual pada komunitas Kristiani. Setiap ibadah yang dibubarkan, setiap izin yang ditolak, setiap perayaan Natal yang harus dijaga ketat aparat adalah pesan yang mengirimkan sinyal bahwa mereka adalah warga negara kelas dua. Muncul perasaan terasing di tanah air sendiri, sebuah ketakutan laten bahwa hak mereka untuk beriman dapat direnggut kapan saja oleh amarah massa atau selembar surat keputusan bupati/walikota yang tunduk pada tekanan.
Secara sosiologis, kondisi ini memelihara benih-benih kecurigaan dan segregasi sosial. Alih-alih membangun jembatan dialog antar-iman, ia justru mempertebal dinding prasangka. Bagaimana mungkin dialog yang tulus bisa terbangun jika salah satu pihak merasa terus-menerus terancam dan hak-hak dasarnya tidak dihormati? Toleransi yang sejati tidak diukur dari jumlah acara seremonial lintas agama, melainkan dari jaminan nyata bahwa setiap warga negara dapat menjalankan keyakinannya tanpa rasa takut. Toleransi tanpa kesetaraan hanyalah sebuah fatamorgana.
Pemerintah pusat seringkali melempar tanggung jawab ke pemerintah daerah, sementara pemerintah daerah berlindung di balik PBM 2006 dan tekanan sosial. Lingkaran setan ini terus berputar, mengorbankan hak-hak konstitusional warga negara. Sikap ambivalen pemerintah pusat mengirimkan pesan yang keliru: bahwa kepentingan politik jangka pendek dan stabilitas semu lebih berharga daripada penegakan konstitusi. Para pemimpin harus berhenti mengeluarkan pernyataan normatif tentang toleransi, dan mulai menunjukkan keberpihakan yang tegas pada konstitusi dan keadilan.
Maka, sudah saatnya kita berhenti berpura-pura bahwa semua baik-baik saja. Kanker intoleransi ini, yang dilegitimasi oleh regulasi yang cacat dan dibiarkan oleh negara yang gamang, harus segera diatasi sebelum menyebar lebih jauh dan merusak organ-organ vital kebangsaan kita.
Pertama, kepada Pemerintah dan DPR, langkah paling mendesak dan fundamental adalah mencabut atau merevisi total PBM 2006. Regulasi pendirian rumah ibadah harus disederhanakan dan didasarkan pada prinsip kebutuhan nyata komunitas, bukan pada persetujuan mayoritas. Kembalikan logika hukum pada tempatnya: pendirian rumah ibadah adalah hak, bukan hadiah. Untuk itu proses perizinannya harus dipermudah dan tidak hanya tunduk dan takluk pada sentimen komunal.
Kedua, Aparat Penegak Hukum, dari Kepolisian hingga Kejaksaan, tunjukkan bahwa negara tidak tunduk pada premanisme berjubah agama. Tindak tegas tanpa pandang bulu setiap individu atau kelompok yang melakukan intimidasi, persekusi, dan pembubaran paksa kegiatan ibadah. Impunitas harus diakhiri. supremasi hukum harus ditegakkan untuk melindungi semua warga negara, terutama yang paling rentan.
Ketiga, Masyarakat Sipil dan Tokoh Lintas Agama, perjuangan untuk keadilan harus terus disuarakan. Dialog antar-iman yang substantif harus digalakkan di tingkat akar rumput untuk mengikis prasangka. Kaum mayoritas yang moderat memiliki tanggung jawab moral yang lebih besar untuk berdiri bersama saudara-saudara minoritas, memastikan bahwa suara mereka tidak dibungkam oleh segelintir kelompok ekstremis yang mengatasnamakan agama.
Pada akhirnya, ini bukan hanya soal gereja. Ini adalah ujian bagi karakter bangsa Indonesia. Apakah kita akan menjadi bangsa yang benar-benar merangkul keberagaman seperti yang dicita-citakan dalam Pancasila dan UUD 1945, atau kita akan membiarkan negara ini terpecah oleh sektarianisme yang sempit? Membiarkan satu kelompok warga negara kesulitan beribadah berarti kita sedang membiarkan nadi kebangsaan kita tersumbat. Membiarkan konstitusi tergadai oleh intoleransi berarti kita sedang meruntuhkan rumah yang sudah dibangun bersama dengan darah dan air mata.
Oleh: Ashiong P. Munthe, dosen STT Berita Hidup, STT IKAT Jakarta, UMN dan UBM. Litbang Pewarna Indonesia.
Reporter: Fridris Jimson S