DEPOK – Menjelang pelantikan Direksi dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan serta BPJS Ketenagakerjaan periode 2026–2031 pada Januari mendatang, sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam Forum Jaminan Sosial (Jamsos) dan PUK Madas Nusantara menyampaikan serap aspirasi kritis. Fokus utama tuntutan diarahkan pada pembenahan layanan, penghapusan tunggakan iuran bagi peserta tidak mampu, serta pengawasan ketat terhadap dana kelolaan publik.
Dalam diskusi yang digelar Kamis (18/12), perwakilan Forum Timbul Siregar S.H, Jamsos menyoroti urgensi pemutihan atau penghapusan tunggakan iuran bagi peserta BPJS Kesehatan kelas 3. Masalah ekonomi dinilai menjadi penyebab utama ketidakmampuan bayar, yang berujung pada penonaktifan kepesertaan. Akibatnya, masyarakat miskin tidak dapat mengakses layanan kesehatan saat membutuhkan, padahal Pasal 28H ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan hak jaminan sosial bagi seluruh rakyat.
Desakan ini muncul di tengah fakta bahwa cakupan kesehatan semesta atau Universal Health Coverage (UHC) yang aktif baru mencapai sekitar 80 persen, jauh dari target 98 persen. Sekitar 40 juta warga miskin yang iurannya tidak lagi ditanggung pemerintah (PBI) diminta segera dimasukkan kembali ke dalam skema tanggungan negara agar tidak terbebani utang iuran.
Selain isu kesehatan, sorotan tajam juga diarahkan pada kinerja BPJS Ketenagakerjaan yang saat ini mengelola dana jumbo sebesar Rp860 triliun. Besarnya dana publik tersebut dinilai rawan penyelewengan jika tidak diawasi secara ketat oleh internal maupun masyarakat sipil. Forum Jamsos menekankan agar jajaran direksi baru tidak bermain-main dalam pengelolaan dana dan memastikan layanan yang lebih optimal dibandingkan periode sebelumnya.
Terkait perluasan kepesertaan, Forum Jamsos mendorong agar pekerja sektor informal, pekerja migran, dan jasa konstruksi mendapatkan akses ke Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun. Digitalisasi layanan juga didesak untuk mempermudah klaim kecelakaan kerja dan kematian, serta memastikan implementasi Penerima Bantuan Iuran (PBI) dalam jaminan ketenagakerjaan yang bersumber dari APBN.
Para pemangku kepentingan berharap direksi baru dapat menghilangkan praktik birokrasi yang berbelit atau “pingpong” pasien di rumah sakit, serta memastikan seluruh pekerja, baik formal maupun informal, terlindungi dari risiko sosial ekonomi seperti kecelakaan kerja dan kematian.











