Asia-Africa Youth Declaration on Digital Safety and Human Rights

Asia-Africa Youth Declaration on Digital Safety and Human Rights

- in Featured, Nasional
6
0

Asia-Africa Youth Declaration on Digital Safety and Human Rights

 

Oria Hotel, Jakarta 7-17 September 2025

 

Pendahuluan

 

Kami, para delegasi Cross-Country Learning on Youth, Digital Safety, and Human Rights, yang terdiri dari para pemimpin muda dari Burundi, Republik Demokratik Kongo (DRC), Indonesia, Irak, Kenya, Nigeria, dan Filipina, berkumpul di Indonesia pada 7–17 September 2025 dalam kerangka Global Joint Initiative for Strategic Religious Action (JISRA) yang didukung oleh Mensen Met Een Missie, dengan tema “Connecting Youth and Creative Media to Address Online Radicalization, Polarization, and Violent Extremism and to Promote Freedom of Religion or Belief.”

Program pertukaran lintas negara ini menginspirasi dan menghubungkan pemuda untuk terlibat dalam berbagai isu terkait keamanan digital, hak asasi manusia, dan pendidikan perdamaian dengan tujuan untuk belajar, terhubung, berpartisipasi, serta mendorong dukungan dalam memajukan Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan/KBB (Freedom of Religion or Belief/FoRB).

1. Konteks dan Latar Belakang:

i) Polarisasi, rendahnya literasi dan keamanan digital: pelanggaran terhadap KBB dan hak asasi manusia di ruang digital—termasuk kekerasan berbasis gender yang difasilitasi teknologi—memerlukan reformasi sistemik (regulasi, infrastruktur, tata kelola) sekaligus keterlibatan akar rumput (literasi, penceritaan, keterlibatan bermakna bagi orang muda). Ruang digital semakin menjadi pusat kehidupan, namun sekaligus menjadi lahan subur bagi polarisasi, ekstremisme, dan pelanggaran HAM.

ii) Radikalisasi dan eksploitasi daring masih menjadi ancaman serius: kelompok ekstremis memanfaatkan AI, media sosial, bahkan gim daring untuk perekrutan dan propaganda, sementara konten berbahaya seperti pornografi anak beredar tanpa kendali. Ujaran kebencian dan narasi yang memecah belah tumbuh subur di platform seperti YouTube dan TikTok, memperdalam ketidakpercayaan lintas etnis, politik, dan agama, yang kerap menargetkan kelompok minoritas.

iii) Keamanan dan perlindungan digital. Organisasi yang bekerja pada isu pembelaan HAM dan hak atas KBB semakin rentan terhadap serangan digital, ujaran kebencian, dan ancaman siber. Tantangan ini bukan sekadar merusak reputasi atau mengganggu jalannya advokasi, melainkan juga menempatkan komunitas rentan dalam risiko yang lebih besar dan menciptakan ketakutan yang menghalangi orang untuk bersuara.

iv) Lemahnya hukum siber dan penggunaan AI/Artificial Intelligence (Kecerdasan Buatan) yang tidak bertanggung jawab dan tidak etis. Konten yang dihasilkan AI, diproduksi secara cepat oleh pihak-pihak tertentu, telah dipersenjatai untuk membanjiri dan membungkam oposisi. Konten ini kerap menstigmatisasi pihak lawan, membuat bantahan efektif menjadi mustahil. Hukum internasional dan upaya moderasi konten saat ini masih belum memadai untuk mencegah penyedia layanan menyebarkan misinformasi tanpa akuntabilitas.

v) Akses dan ketimpangan. Kami mengakui bahwa isu agama dan identitas seringkali bukan akar penyebab konflik, melainkan akibat dari tantangan yang lebih mendasar seperti kemiskinan, ketidaksetaraan, kurangnya akses, dan kerentanan. Masalah- masalah mendasar ini tidak berdiri sendiri; sering kali dipolitisasi, sehingga memunculkan konflik sekunder yang dibingkai sebagai konflik identitas.

Atas dasar itu, upaya untuk mencegah dan menangani ekstremisme kekerasan (Preventing and Countering Violent Extremism/PCVE) harus dimulai dari akar persoalan. Hal tersebut dapat dimulai dengan menumbuhkan masyarakat yang adil dan inklusif— dimana kesempatan ekonomi, perlindungan hukum yang setara, serta rasa memiliki budaya dapat dinikmati semua pihak.

Dengan mengatasi ketidakadilan mendasar, kita dapat mengurangi kerentanan yang memicu konflik dan bergerak menuju masa depan di mana martabat, perdamaian, dan kasih sayang menjadi landasan bersama setiap komunitas.

2. Dokumen ini dibuat setelah kami melaksanakan serangkaian kegiatan:
a. Dialog lintas budaya,
b. Pelatihan media kreatif,
c. Kunjungan lapangan ke berbagai komunitas,
d. Kegiatan lintas iman, termasuk kunjungan ke gereja, kuil, pesantren, dan warisan budaya,
Kami membayangkan sebuah komunitas yang lebih baik melalui alokasi sumber daya, penguatan kapasitas dan pembangunan, advokasi dan keterlibatan kebijakan, peningkatan kesadaran, serta penciptaan kemitraan untuk memajukan ruang digital, hak asasi manusia, dan KBB.

3. Kami merekomendasikan:

1. Penguatan kapasitas pemuda secara terarah dalam hal keamanan digital, literasi digital, penciptaan dan penyebaran narasi alternatif dengan perspektif Gender
Equality, Disability, and Social Inclusion (GEDSI) menggunakan platform digital, untuk mencegah misinformasi dan disinformasi.

2. Pengesahan dan penegakan prinsip, hukum, dan kerangka kerja terkait keamanan digital, hak asasi manusia, dan KBB, termasuk Budapest Convention on Cybercrime (Treaty 185), Sustainable Development Goals (SDGs), Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination (1965), UNSCR 2250 tentang Youth, Peace and Security (YPS), Dasasila Bandung, dan Resolusi Dewan HAM PBB 2025 58/23.

3. Kolaborasi kuat antar pemangku kepentingan baik aktor negara maupun non- negara—seperti orang muda, pemerintah, sektor swasta, komunitas rentan, media, akademisi, donor dan lembaga internasional, pemimpin agama, kelompok budaya, dan keluarga—untuk membangun sinergi dan meningkatkan efektivitas inisiatif perdamaian digital.

4. Penyebarluasan kampanye kesadaran baik daring maupun luring tentang keamanan digital, hak asasi manusia, anti-diskriminasi kekerasan, inisiatif pembangunan perdamaian, serta mendorong kolaborasi lintas generasi dalam kampanye daring. Setiap pihak terkait, khususnya pemuda dan platform digital, perlu bertanggung jawab atas penggunaan media digital.

5. Dialog inklusif dengan perusahaan teknologi untuk mendorong regulasi mandiri dan moderasi konten terhadap konten digital yang berbahaya.

4. Seruan Aksi:

Untuk menerjemahkan rekomendasi ini menjadi tindakan nyata, kami menyerukan kepada:

● Lembaga pemerintah internasional, regional, nasional, dan sub-nasional agar menyediakan lingkungan yang mendukung, menegakkan hukum dan regulasi, serta memajukan keamanan digital, hak asasi manusia, dan KBB.

● Donor dan organisasi internasional agar memprioritaskan investasi strategis melalui pendanaan, mendorong pembelajaran lintas negara, memastikan keberlanjutan ruang digital melalui intervensi program, serta mengimplementasikan prinsip ‘Do No Harm’ dan ‘No One Left Behind’.

● Media dan pembuat konten agar bertanggung jawab dalam menciptakan dan menyebarkan konten daring.

● Pemuda, mari kita ingat peran kita dalam membangun perdamaian menuju komunitas yang tangguh melalui pencegahan ekstremisme kekerasan di ruang digital.

Narahubung:
1. Muhammad Habila Kudu, Program Officer, Development Initiative of West Africa (DIWA)
– Nigeria (habilamuhammad@gmail.com)

2. Yuyun Khairun Nisa, Knowledge Management Staff, AMAN Indonesia – Indonesia (shebuildpeaceid@aman.org)

3. Farhana Wahab Tekoken, Project Coordinator and Advocacy Officer/Social Media Page Admin, Mindanao Tri-People Women Resource Center (MTWRC) – Philippines (fhar.tekoken@gmail.com)

4. Josef Christofer Benedict, Writer, Youth Ambassador of Indonesia National Counter Terrorism Agency/BNPT – Indonesia (jchbenedict@gmail.com)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

BRI Rasuna Said Rayakan Hari Pelanggan Nasional dengan Komitmen Tingkatkan Layanan

Post Views: 4,913 BRI Rasuna Said Rayakan Hari