Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto Harus Jadi Langkah Awal Menuju Rekonsiliasi Nasional

Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto Harus Jadi Langkah Awal Menuju Rekonsiliasi Nasional

- in Featured, Opini & Analisa
4
0

Abolisi dan Amnesti untuk Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto Harus Jadi Langkah Awal Menuju Rekonsiliasi Nasional

 

Oleh Jeannie Latumahina.
Ketua Umum RPA Indonesia

 

Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengambil keputusan memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP. Keputusan ini menggembirakan untuk mengakhiri proses hukum yang sedang berjalan pada Tom Lembong dan menghapus hukuman bagi Hasto Kristiyanto, serta telah mendapat persetujuan DPR.

Namun perlu dipahami abolisi dan amnesti ini sesungguhnya juga dapat sebagai pondasi awal jalan rekonsiliasi nasional yang tulus dan berkeadilan, bukan malah dijadikan sebagai alat politik transaksional antara pemerintah dengan PDIP untuk membentuk koalisi besar yang menghilangkan keberadaan oposisi yang sehat. Karena jika hanya dijadikan alat politik pragmatis, negara tetap berisiko masih selalu terperangkap dalam pola Rule by Law, yaitu di mana hukum ditegakkan secara formal tanpa keadilan substantif, dan sejatinya melemahkan demokrasi dan prinsip keseimbangan kekuasaan.

Disisi lain terdapat urgensi rekonsiliasi nasional amat besar jika melihat pada luka sejarah bangsa yang penuh tragedi berdarah sejak 1965 hingga 1998. Peristiwa 1965–1966 yang menewaskan sekitar 500.000 hingga 1 juta orang dan telah menyebabkan ribuan lainnya dipenjara tanpa proses hukum yang adil. Kemudian juga terdapat Tragedi Malari 1974 yang menimbulkan kerusuhan besar dan kerusakan fisik. Termasuk peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 yang kembali memperlihatkan peristiwa kebrutalan aparat menembak warga sipil yang menuntut keadilan. Dan makin menggores lagi peristiwa Kudatuli tahun 1996 luka politik dengan penyerbuan kekerasan terhadap kantor DPP PDI Megawati. Selain itu, tragedi Trisakti, Semanggi I dan II, serta kerusuhan Mei 1998 dan penculikan puluhan aktivis pro-demokrasi menambah daftar panjang luka yang belum ada penyelesaian resmi dan tuntas.

Padahal jelas berbagai lembaga seperti Komnas HAM, Amnesty International Indonesia, serta keluarga korban, terus menerus menuntut pengakuan sejarah penuh, pengungkapan kebenaran, pemulihan korban, dan penegakan hukum yang tegas tanpa diskriminasi. Tanpa adanya penyelesaian menyeluruh atas akar-akar trauma tersebut, rekonsiliasi nasional rasanya akan sulit diwujudkan secara murni dan berkeadilan.

Oleh sebab itu tentunya rakyat sangat berharap pemberian abolisasi dan amnesti saat ini bukan hanya soal pengampunan hukum individual, melainkan harus menjadi pijakan kuat kebijakan negara untuk membangun komitmen serius atas penyelesaian dan pemulihan masa lalu, termasuk pencegahan pengulangan tragedi. Dengan berani menerapkan prinsip ini, Indonesia jelas berpotensi keluar dari jebakan Rule by Law, yaitu hukum yang hanya formal tanpa keadilan. Berubah menuju Rule of Law yang sesungguhnya sebagai mana amanat Undang-undang Dasar.

Rule of Law adalah prinsip hukum tertinggi yang berlaku secara adil dan setara bagi semua warga negara. Hukum ditegakkan penuh dengan transparansi, menghormati hak asasi manusia, dan menjamin keadilan substantif. Sehingga semua pihak, termasuk penguasa, berada di bawah hukum yang sama. Ini jelas akan menandai transformasi hukum sebagai instrumen keadilan dan demokrasi sejati.

Sebaliknya kondisi Rule by Law menggambarkan situasi di mana hukum dijadikan alat kekuasaan oleh penguasa demi mempertahankan dominasinya secara formal. Hukum malah ditegakkan secara selektif dan tanpa keadilan substantif, yang sering kali untuk alat menekan oposisi dan kelompok tertentu secara diskriminatif. Pola ini jelas mengancam demokrasi dan hak asasi manusia.

Dalam konteks abolisasi dan amnesti ini, meski PDIP dengan Sekjen Hasto Kristiyanto masih berada di luar koalisi pemerintahan, dukungan politik partai ini harus dilihat sebagai langkah solidaritas nasional, dan bukan sebagai unsur politik transaksional yang mengimpit fungsi oposisi sehat. Yaitu kekuatan oposisi yang mandiri dan konstruktif, wajib tetap dipertahankan sebagai penyeimbang kekuasaan dan pengawas demokrasi agar keadilan dan transparansi tetap terjaga.

Refleksi mendalam atas kebijakan ini dapat mengingatkan bahwa rekonsiliasi nasional tidak cukup hanya dengan pengampunan hukum terhadap individu tertentu. Harus ada ketegasan sikap dan tindakan tulus dari pemerintah dan seluruh elemen bangsa untuk mengakui luka sejarah, menegakkan keadilan, melindungi hak korban, dan membangun adanya kesadaran kolektif yang menerima perbedaan untuk keutuhan bangsa.

Masa depan Indonesia sangat tergantung pada pelaksanaan Rule of Law yang konsisten dan kuat, yang menegakkan keadilan tanpa pilih kasih dan melindungi hak asasi setiap warga. Hanya dengan demikian maka negara menjadi mampu mewujudkan demokrasi yang sehat dan stabil, mencegah praktik penyalahgunaan kekuasaan, dan terus memastikan kasus seperti yang menimpa Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto tidak terulang pada siapa pun.

Sebagai penutup, perjuangan penguatan sistem hukum yang independen dan transparan, penyelenggaraan pemerintahan yang akuntabel, serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat harus menjadi prioritas bersama. Negara dan masyarakat wajib berkomitmen kuat untuk mewujudkan Rule of Law yang sejati demi masa depan Indonesia yang damai, adil, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.

Jum’at, 1 Agustus 2025

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Hillary Brigitta Lasut Terpilih Sebagai Ketua PERTINA Dalam MUNASLUB 2025

Post Views: 4,902 Hillary Brigitta Lasut Terpilih Sebagai