KDRT: Rumah, Lorong Tak Berujung, atau Penjara Tanpa Jeruji?

KDRT: Rumah, Lorong Tak Berujung, atau Penjara Tanpa Jeruji?

- in Featured, Opini & Analisa
16
0

KDRT: Rumah, Lorong Tak Berujung, atau Penjara Tanpa Jeruji?

 

Oleh: Anneke S.Lesar, S.Psi.,M.M.,AJP
(Pendamping Korban, Relawan Perempuan dan Anak Indonesia)

 

Di Minahasa, Sulawesi Utara, ada ungkapan lama: “Rumah adalah istana kecil setiap
keluarga.” Tapi saya belajar dari lapangan, sering kali istana itu lebih mirip ruang isolasi. Atau, kalau
mau jujur, penjara tanpa jeruji.

Beberapa bulan terakhir ini, saya mendampingi perempuan yang menjerit dipukul, anak-anak
yang kehilangan suara, bahkan nyaris diperkosa Ayahnya sendiri. Namun yang paling menyakitkan bukan sekadar luka fisik. Yang paling mematikan adalah
diam. Diam korban. Diam tetangga. Diam aparat. Diam negara.

Minahasa: Bukan Kota Aman Bagi Mereka yang Tak Berani Bersuara

Data UPTD PPA Sulawesi Utara hingga pertengahan 2025 mencatat:
86 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.Sebagian besar/ Dominan adalah KDRT
dan penelantaran.

Tapi angka ini? Angka ini seperti tip of the iceberg—puncak gunung es. Di bawahnya, ribuan
cerita tertelan oleh tembok rumah dan dinding stigma sosial. Di Minahasa, kekurangan personel buser adalah fakta. Polresta Minahasa bukan tidak
bekerja, mereka hanya kalah jumlah. Coba bayangkan: satu buser harus mengejar puluhan
DPO, mulai dari pencuri ayam sampai pelaku KDRT yang kabur entah ke mana.

Ironisnya, DPO KDRT seringkali adalah wajah yang dikenal: * Suami yang rajin ikut ibadah Minggu. * Paman yang ramah di warung kopi. * Tetangga yang membantu gotong royong. Masyarakat tahu, tapi memilih pura-pura tidak tahu.

KDRT: Lorong Labirin atau Sirkus Hukum?

Sebagai pendamping, saya kadang merasa seperti ikut pertunjukan sirkus yang
membosankan:
1. Korban melapor. 2. Polisi datang, membuat berita acara. 3. Pelaku kabur, masuk DPO. 4. Korban diminta bersabar. 5. Masyarakat mulai bisik-bisik, “Ah, itu urusan rumah tangga.” 6. Korban mencabut laporan.
Dan… putaran ini berulang, seperti roda kuda delman yang sudah aus. — Cukup Sudah!

Saya katakan sekarang: “cukup sudah” KDRT bukan urusan pribadi. Diamnya kita semua adalah bentuk lain dari kekerasan itu sendiri.

Saya menuntut:
Penambahan buser di Minahasa. Jangan sampai kasus KDRT masuk antrean panjang di
ruang sidang. Sistem pelaporan yang cepat dan aman. Jangan sampai korban harus menunggu berhari- hari untuk sekadar bisa berbicara.

Kesadaran sosial: Jangan bisu, jangan buta, jangan tuli. Jika Anda tahu, jangan hanya
angkat bahu. Angkat telepon. Laporkan.

Rumah Bukan Lorong, Bukan Penjara

Kita semua punya keluarga. Punya saudara perempuan, anak perempuan, ibu, kakak, adik. Bayangkan kalau yang berada di lorong itu adalah mereka. Jika Anda masih menganggap ini bukan urusan Anda, saya hanya ingin berkata: mungkin
Anda belum cukup dekat dengan rasa sakit itu. Tapi jangan tunggu sampai rasa itu datang
mengetuk pintu rumah Anda sendiri. Rumah seharusnya rumah. Bukan lorong. Bukan penjara. Bukan sirkus hukum. Mulai sekarang, mari jaga rumah-rumah di sekitar kita agar tetap punya pintu yang terbuka. Bukan pintu yang tertutup rapat karena takut dan tabu.

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

“Pewarna Indonesia Dan STT IKAT Gelar Seminar Nasional, Budi Arie : “Target 80 Persen Penduduk Anggota Koperasi^

Post Views: 10   Jakarta – Cosmopolitanpost.com –