Serikat Jurnalis Indonesia Hadir Memberikan Warna Baru
Jakarta, Gramediapost.com
Salah satu misi dan tujuan berdirinya Serikat Jurnalis Indonesia (SJI) adalah memberikan advokasi dan pembelaan hak-hak Pekerja Pers Indonesia. Sebagai garda terdepan pemeberitaan dan informasi aktual, selain sebagai kontrol sosial masyarakat, masih banyak pekerja pers yang belum mendapatkan haknya secara seimbang dan berkeadilan.
Ketua Umum SJI Esa Tjatur Setiawan mengatakan, bahwa Dewan Pers dan Insan Pers Indonesia perlu merenungkan kembali untuk menyamakan visi dan tujuan terkait kesejahteraan selain penegakan standar bekerja dan kode etik jurnalis. Diakui masih banyak pekerja pers aktif dan purna yang jauh dari kesan sejahtera. Padahal kesejahteraan berkorelasi langsung dengan idealisme.
“Jangan berharap idealisme pekerja pers kalau owner pemilik media masih memberikan upah rendah terhadap wartawanya. Oleh karenanya pekerja pers harus kompak dan bersatu, duduk bareng, untuk memperbaiki kesejahteraan profesi jurnalistik di Indonesia,’’ ungkap Esa.
Lebih lanjut mantan Redpel Tabloid Kelompok Oposisi (group Jawa Pos) ini mengungkapkan, idealisme wartawan sangat dipengaruhi oleh ‘kebijakan’ pemilik media. Banyak pengusaha media dengan berbagai alasan justru memberi upah pekerja pers dibawah standar dan bahkan lebih rendah dari upah buruh pabrik.
Ironis sekali. Saat ini meski bekerja diperusahaan besar, salary yang diterima wartawan relative kecil. Saat hak salarnya mulai bertambah, seiring dedikasi dan durasi kerja, pekerja pers malah dibuang dengan berbagai alasan efisiensi.
“Menyedihkan sekali nasib pekerja pers. Sudah banyak contoh didepan mata kita. Alumni pekerja pers sebuah holding besar nasional sekalipun, masih banyak yang terlantar. Masa depannya menjadi kegelisahan. Gajih tidak pernah besar, saat mulai bertambah sudah harus diganti rekruitmen wartawan baru yang bersedia menerima upah rendah. Begitu seterusnya siklus rekruitmen. Sehingga nasib insan pers kita selalu tragis,’’ tegasnya.
Terlebih dimasa pandemik. Banyak alasan pemilik media untuk mem PHK karyawanya. Tidak heran, banyak wartawan yang harus alih profesi demi sekedar untuk memenuhi kebutuhan perut.
Sebut saja “S” mantan wartawati media besar nasional, tinggal di Bogor. S terpaksa memeras otak dengan berjualan aneka makanan di dekat tempat tinggalnya, sekedar untuk bertahan hidup.
Nasib yang sama juga dialami “J”. Mantan pemimpin redaksi sebuah media group holding besar nasional ini harus mengubur pengalaman jurnalistiknya dan terpaksa jualan soto khas daerah di Pamulang, Depok, Jawa Barat.
Kalaupun ada wartawan atau mantan wartawan yang cukup sejahtera, kata deklarator dan penggagas Aliansi Wartawati Indonesia (AWI) ini, dipastikan bukan karena income yang diperoleh dari profesinya sebagi Jurnalistik atau wartawan.
“Kelebihan wartawan ada di relationship dan public speaking atau kemampuan communication skill. Hal itu menjadikan wartawan atau mantan wartawan bisa lebih mudah untuk memperoleh pendapatan tambahan (aktif income) diluar profesi utama sebagai Jurnalistik.
Sebagai solusi, Esa Tjatur Setiawan mengajak seluruh wartawan bersatu, duduk bareng untuk merumuskan jalan keluar bersama terkait peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan wartawan.
“Masa depan pers dan pekerja pers ada ditangan kita semua. Harus ada resulusi bersama sebagai jalan keluar. Ayuk duduk bareng, baik stake holder dan share holder. Kita sampaikan bersama sebagai resolusi keprihatinan bersama kepada pemerintah. Bahwa negara harus hadir dan peduli terhadap masa depan wartawan,’’ tandas Esa.
Gereja & Masyarakat Marjinal
Post Views: 4,782 Gereja & Masyarakat Marjinal