Dipanggil untuk Bersekutu dan Memberitakan Injil: Sejarah Singkat dan Refleksi 54 Tahun PGLII

Dipanggil untuk Bersekutu dan Memberitakan Injil: Sejarah Singkat dan Refleksi 54 Tahun PGLII

- in Agama
15
0

 

Cosmopolitanpost.com-

Pendahuluan

Gerakan Injili (Evangelical) merupakan salah satu arus besar dalam kekristenan yang memiliki pengaruh luas secara global maupun di Indonesia. Berakar pada kebangunan rohani dan pemurnian iman sejak abad ke-18, gerakan ini berkembang menjadi jaringan transnasional yang menekankan otoritas Alkitab, keselamatan melalui iman kepada Yesus Kristus, dan keterlibatan aktif dalam penginjilan serta pengutusan/misi.

Di Indonesia, semangat yang sama mulai mengkristal pada akhir 1960-an, ketika sejumlah pemimpin Injili merasakan urgensi untuk membangun wadah bersama yang dapat mempererat persekutuan serta mengonsolidasikan peran gereja dan lembaga Injili dalam kehidupan bangsa. Hasil dari pergumulan panjang ini adalah lahirnya Persekutuan Injili Indonesia (PII) pada tahun 1971, yang pada tahun 2006 bertransformasi menjadi Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII).

Dalam rangka HUT ke-54 PGLII, tulisan ini mencoba menelusuri perjalanan sejarah tersebut, dimulai dari akar gerakan Injili dunia, perkembangan gerakan Injili di Indonesia, hingga lahir dan berkembangnya PGLII sebagai wadah persekutuan gereja-gereja Injili Indonesia dalam konteks pelayanan yang lebih luas dan relevan dengan dinamika zaman.

Gerakan Injili Dunia

Semuanya bermula dari Gerakan Injili Sedunia yang kini diwadahi dalam organisasi Aliansi Injili Dunia atau World Evangelical Alliance (WEA). Wadah ini merupakan manifestasi global dari semangat Injili, dengan lima ciri utama sejak awal berdirinya: berakar pada pengakuan iman Injili klasik, bersifat konstitusional, berbasis gereja, mencakup aliansi nasional dan regional secara global, serta berfungsi sebagai jaringan yang memperlengkapi gereja-gereja Injili melalui komisi yang dibentuk dan pelayanannya. Sejarah singkatnya dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Evangelical Alliance (1846–1951): Gerakan ini berakar pada pertemuan di London tahun 1846, saat sekitar 800–1000 pemimpin Injili dari 53 kelompok membentuk Evangelical Alliance. Mereka tidak mendirikan denominasi baru, melainkan menyatakan kesatuan rohani lintas gereja. Evangelical Alliance menjadi pelopor dalam isu-isu sosial seperti penghapusan perbudakan, kebebasan beragama, dan doa bersama secara global.

2. World Evangelical Fellowship (1951–2001): Setelah dua perang dunia, gerakan ini diperbarui dalam bentuk World Evangelical Fellowship (WEF) pada 1951. WEF lahir dengan semangat globalisasi Injili, mengembangkan komisi-komisi pelayanan seperti misi, penginjilan, keadilan sosial, dan literatur. Kepemimpinan mulai beralih dari negara-negara Barat ke bagian dunia lainnya, yang mencerminkan pendekatan yang lebih kontekstual.

3. World Evangelical Alliance (2001–sekarang): Nama “World Evangelical Alliance” diadopsi secara resmi pada tahun 2001. Di bawah kepemimpinan tokoh-tokoh seperti Geoff Tunnicliffe, jaringan WEA diperluas ke berbagai kota besar dunia, dan komisi-komisi baru didirikan. Hingga kini, WEA terdiri dari 143 aliansi nasional, 9 aliansi regional, lebih dari 100 anggota afiliasi, serta komisi-komisi seperti Teologi, Misi, Perempuan, Pemuda, dan Kebebasan Beragama.

Gerakan Injili di Indonesia

Sejarah gerakan Injili (Evangelical) di Indonesia memperoleh bentuk institusionalnya melalui dinamika teologis dan praksis yang berkembang pesat sejak akhir dekade 1960-an. Dalam konteks kemajemukan kekristenan Indonesia serta kebutuhan untuk membangun wadah kolektif bagi gereja-gereja dan lembaga-lembaga yang berpegang pada identitas Injili, sejumlah tokoh Injili Indonesia memprakarsai persekutuan-persekutuan informal yang intensif sebagai cikal bakal terbentuknya organisasi nasional.

Inisiatif tersebut memuncak dalam dua pertemuan penting yang menjadi tonggak historis. Pertama, pada bulan Juni 1971, para pemimpin Injili dari berbagai latar belakang gerejawi berkumpul di City Hotel, Jakarta untuk mendiskusikan kebutuhan akan sebuah wadah bersama. Kedua, pada Juli 1971, pertemuan serupa dilaksanakan di Batu, Malang, Jawa Timur. Dari dua pertemuan inilah lahir sebuah gerakan yang kemudian dikenal dengan nama Persekutuan Injili Indonesia (PII).

Secara konseptual, kata kunci yang menjadi landasan gerakan ini adalah “persekutuan.” Dalam konteks ini, “persekutuan” tidak semata menunjuk pada relasi spiritual, melainkan juga mengandung pengertian strategis yaitu sebagai wahana untuk membahas beban bersama dalam bidang pekabaran Injil dan misi di Indonesia; menggumulkan kehadiran suatu wadah yang merepresentasikan gereja dan lembaga Injili secara nasional; menampung aspirasi dan perjuangan kolektif; serta memfasilitasi kerja sama dalam pemberitaan Injil.

Pada 15 Juni 1971, pertemuan lanjutan yang lebih formal diselenggarakan di Hotel Ramayana, Tanah Abang, Jakarta, dihadiri oleh kurang lebih 100 pemimpin dan pelayan Injili dari berbagai daerah. Dalam pertemuan ini disepakati empat keputusan mendasar: 1) Pembentukan wadah pelayanan bersama bernama Persekutuan Injili Indonesia (PII); 2) Pembentukan pengurus sementara dengan struktur: Ketua: Pdt. Dr. Petrus Octavianus, Sekretaris: Pdt. Willem Hekmann, dan Bendahara: Philip Leo; 3) Penugasan pengurus untuk mempersiapkan Kongres Nasional I PII; 4) Penugasan pengurus untuk merumuskan mukadimah dan AD/ART organisasi.

Momen bersejarah lahirnya PII ditetapkan pada tanggal 17 Juli 1971, dalam pertemuan di Batu, Malang, Jawa Timur, dengan moto: “Dipanggil untuk Bersekutu dan Memberitakan Injil” yang merujuk pada Matius 28:19 dan Galatia 5:1. Momentum ini dianggap sebagai artikulasi historis dan teologis berdirinya gerakan Injili Indonesia dalam bentuk kelembagaan nasional. Selama lebih dari tiga dekade berikutnya, PII menjadi wadah representatif bagi gereja-gereja dan lembaga-lembaga yang memegang teguh doktrin Injili di Indonesia. Ia memainkan peran penting dalam dialog antar denominasi Injili, penguatan pelayanan misi, serta keterlibatan dalam isu-isu publik dari perspektif Injili.

Pada saat Kongres Nasional IX PII, yang diselenggarakan pada 3–6 Oktober 2006 di Hotel Indo Alam, Puncak, Jawa Barat, organisasi ini secara resmi mengubah namanya menjadi Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII). Perubahan nomenklatur ini mencerminkan realitas organisasi yang anggotanya berubah dari individu dengan ketokohannya atau komunitas persekutuan, menjadi secara profesional mencakup sinode-sinode gereja (99 sinode) dan lembaga-lembaga pelayanan Kristen (69 yayasan/lembaga). PGLII kini memiliki pengurus wilayah di 31 provinsi di Indonesia, menjadikannya salah satu aliansi Injili terbesar di Asia.

Adapun tokoh-tokoh yang berperan penting dalam proses kelahiran dan konsolidasi awal PII antara lain: Pdt. Dr. Petrus Octavianus, Pdt. Dr. Ais. M. O. Pormes, Pdt. G. Neigenfind, Pdt. Willem Hekmann, Brigjen (Purn.) N. Huwae, Philip Leo, S. O. Bessie, Pdt. Dr. H.L. Senduk, Ev. S. Damaris, Pdt. Ernest Sukirman, Pdt. Andreas Setiawan. Mereka merupakan representasi dari pelbagai latar belakang pelayanan dan denominasi Injili yang bersatu dalam visi yang sama yang menghadirkan cikal bakal kesaksian Injili yang kuat, kontekstual, dan bersatu di tengah keragaman Indonesia.

Refleksi Penutup:

Tepat 54 tahun sejak kelahirannya pada 17 Juli 1971, Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII) telah menapaki perjalanan panjang sebagai wadah kesaksian Injili yang kokoh di tengah dinamika bangsa dan gereja. Dari pergumulan awal yang sederhana dalam bentuk persekutuan, PGLII kini menjelma menjadi jaringan nasional yang menghimpun banyak sinode gereja dan lembaga pelayanan Injili, dengan kehadiran yang menyebar di seluruh provinsi di Indonesia.

Dalam terang doa Yesus dalam Yohanes 17, khususnya permohonan-Nya agar murid-murid-Nya “semuanya menjadi satu” (Yoh. 17:21), eksistensi PGLII dapat dilihat sebagai wujud nyata dari panggilan Kristus terhadap kesatuan umat percaya. Kesatuan yang dimaksud bukanlah uniformitas doktrinal atau struktural, melainkan persekutuan yang berakar pada kebenaran Injil, kasih yang saling mengikat, serta misi bersama untuk memberitakan Kristus kepada dunia. PGLII menjadi ruang perjumpaan lintas denominasi dan generasi di mana tubuh Kristus dapat saling memperkaya dan memperlengkapi dalam kesetiaan terhadap Firman Tuhan dan Amanat Agung.

Dalam konteks globalisasi, tantangan ideologis, dan fragmentasi sosial saat ini, keberadaan PGLII memiliki urgensi yang semakin besar. Ia dipanggil bukan hanya untuk menjaga warisan teologis Injili, tetapi juga untuk menunjukkan kekuatan kesatuan di tengah keberagaman, menjadi suara profetik di ruang publik, serta menjadi agen transformasi Injil yang relevan di setiap lapisan masyarakat. Memasuki usia ke-54, refleksi atas sejarah bukanlah sekadar nostalgia kebanggaan masa lalu, melainkan undangan untuk memperbaharui komitmen terhadap panggilan Injili yaitu dipanggil untuk bersekutu dan memberitakan Injil. PGLII dipanggil untuk terus menjadi pelayan kesatuan, penjaga integritas Injil, dan pemimpin dalam misi transformatif bagi bangsa ini dan bagi dunia, sampai semua bangsa mendapat kesempatan mendengarkan Injil. Selamat ulang tahun PGLII!

Disusun oleh Daniel Ronda

Sumber bahan:
World Evangelical Alliance. “Our History.” Diakses 17 Juli 2025. https://worldea.org/who-we-are/our-history/.
Wikipedia. “Persekutuan Gereja-Gereja dan Lembaga-Lembaga Injili Indonesia.” Modifikasi terakhir: 9 Juli 2024. https://id.wikipedia.org/wiki/Persekutuan_Gereja-Gereja_dan_Lembaga-Lembaga_Injili_Indonesia. (catatan: penulis sudah melakukan verifikasi keakuratan).

Redaksi

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Meningkatkan Efektivitas Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak

Post Views: 4,908 Meningkatkan Efektivitas Penanganan Kekerasan terhadap