ASN Milenial dan Gen Z Dibekali 3 Modul Bela Negara di Latsar CPNS 2025
Jakarta, Cosmopolitanpost.com
Berdasarkan artikel Narasi yang di rilis Pada cosmopolitanpost.com pada sabtu,(12/07/25) Terkait Generasi milenial dan Gen Z yang tengah mengikuti Pelatihan Dasar Calon Pegawai Negeri Sipil Latsar CPNS) 2025 kini mendapat bekal strategis berupa tiga modul utama yang dirancang untuk memperkuat karakter kebangsaan dan kesiapan bela negara. Ketiga modul tersebut adalah Wawasan Kebangsaan dan Nilai-Nilai Bela Negara, Analisis Isu Kontemporer, serta Kesiapsiagaan Bela Negara.
Materi ini menjadi bagian dari Agenda Satu Latsar CPNS yang disusun Lembaga Administrasi Negara (LAN RI) untuk menjawab tantangan zaman sekaligus membentuk ASN yang tidak hanya profesional, tetapi juga berjiwa nasionalis.
> “ASN adalah garda terdepan pelayanan publik sekaligus perekat persatuan bangsa. Mereka perlu memahami dan menginternalisasi nilai-nilai kebangsaan secara utuh,” tulis LAN RI dalam pengantar modul.
Mengenal Modul Wawasan Kebangsaan dan Bela Negara
Modul pertama terdiri dari delapan bab yang membahas sejarah perjuangan bangsa, filosofi dasar negara, serta empat konsensus nasional: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Materi ini juga menekankan pentingnya menjaga simbol negara seperti bendera Merah Putih, Garuda Pancasila, Bahasa Indonesia, dan lagu kebangsaan. ASN diajak memahami makna bela negara yang kini tak lagi terbatas pada pertahanan bersenjata, tetapi mencakup sikap, tindakan, dan kontribusi nyata terhadap bangsa.
Lima nilai bela negara yang ditekankan adalah
Cinta Tanah Air
Sadar Berbangsa dan Bernegara
Setia pada Pancasila
Rela Berkorban
Memiliki Kemampuan Awal Bela Negara
Responsif terhadap Zaman Lewat Modul Isu Kontemporer
Modul kedua membuka wawasan CPNS terhadap berbagai isu strategis seperti korupsi, radikalisme, narkoba, hingga disinformasi digital. Peserta juga diperkenalkan pada metode analisis masalah seperti mind mapping, diagram fishbone, SWOT, dan gap analysis.
Modul ini turut memperkenalkan konsep modal insani, yaitu seperangkat kemampuan seperti intelektual, emosional, moral, sosial, hingga fisik, yang diperlukan untuk menjadi ASN adaptif di era yang serba cepat dan kompleks.
Modul Kesiapsiagaan Latihan Fisik hingga Rencana Aksi Bela Negara
Modul ketiga menjadi yang paling praktis karena melibatkan pelatihan fisik, mental, dan etika kerja. Mulai dari baris-berbaris, tata upacara, hingga simulasi kegiatan lapangan tetap dijalankan meski dalam kondisi cuaca ekstrem, menandakan fleksibilitas dan ketangguhan pelatihan.
Peserta Latsar juga diwajibkan menyusun Rencana Aksi Bela Negara, berupa program atau kegiatan yang relevan dengan tugasnya di instansi masing-masing. Hal ini menjadi bentuk nyata internalisasi nilai-nilai bela negara dalam konteks kerja ASN.
Membangun ASN” Berahlak ” dan Siap Hadapi Masa Depan
Secara keseluruhan, ketiga modul ini disusun dengan pendekatan sistematis dan praktis, menjadikan proses pembelajaran lebih aplikatif bagi ASN milenial dan Gen Z. Materi ini tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga mengajak peserta merefleksikan peran strategis mereka dalam menjaga keutuhan dan kedaulatan bangsa.
“Bela negara bukan hanya slogan, tapi harus menjadi sikap dan tindakan nyata dalam kehidupan ASN sehari-hari,” tulis penulis ulasan, Julita Nurul Astria.
Modul Agenda Satu Latsar CPNS 2025 diharapkan mampu mencetak ASN yang tidak hanya siap melayani, tapi juga siap membela negara di tengah tantangan global.
Pelaporan Transaksi Mencurigakan Masih Tinggi, PPATK Tren Money Laundering Kian Kompleks
Praktik pencucian uang (money laundering) di Indonesia terus menunjukkan dinamika yang memerlukan perhatian serius. Di tengah kemajuan teknologi dan pengawasan digital, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan bahwa pengawasan, pencegahan, dan penindakan terhadap kejahatan keuangan kini semakin kompleks dan membutuhkan keterlibatan aktif masyarakat.
Data terbaru dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan tren yang fluktuatif dalam laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) dalam lima tahun terakhir. Berdasarkan laporan Jakarta Post Editorial tahun 2022, jumlah LTKM yang diterima PPATK pada 2021 mencapai 73.000 laporan, meningkat dari 68.057 laporan pada 2020.
Peningkatan ini dinilai sebagai sinyal positif terhadap meningkatnya kesadaran sektor keuangan dan masyarakat dalam melaporkan aktivitas mencurigakan. Namun, secara keseluruhan, jumlah laporan transaksi mencurigakan termasuk transaksi tunai dan lintas batas justru menurun dari 2,7 juta laporan pada 2020 menjadi 2,4 juta laporan pada 2021.
“Penurunan ini bisa jadi merupakan hasil dari penguatan sistem pengawasan internal di lembaga keuangan atau penyesuaian perilaku pelaku transaksi terhadap regulasi yang semakin ketat,” ujar perwakilan PPATK.
Namun, tren kembali berubah pada 2025. Hingga Mei 2025, PPATK telah menerima 3.416.727 laporan, mencerminkan lonjakan signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Meskipun demikian, dibandingkan bulan April, angka tersebut turun 4,7%, dengan penurunan terbesar terjadi pada kategori Laporan Transaksi Keuangan Tunai (LTKT) yang merosot hingga 8,5%.
Fluktuasi ini menunjukkan bahwa meski tingkat pelaporan masih tinggi, terdapat pergeseran dalam pola transaksi dan kejahatan keuangan. Faktor seperti efisiensi sistem pelaporan, menurunnya volume transaksi tunai, serta peralihan modus kejahatan ke platform digital diduga menjadi penyebab utama.
Para pelaku kejahatan finansial kini semakin adaptif, memanfaatkan teknologi dan celah hukum dalam sistem keuangan digital. Hal ini menjadi tantangan serius dalam upaya memperkuat sistem anti pencucian uang di Indonesia.
OJK dan PPATK menegaskan pentingnya kolaborasi antara lembaga keuangan, regulator, serta masyarakat luas dalam mendeteksi dan melaporkan aktivitas mencurigakan. Penguatan regulasi dan teknologi pelaporan akan menjadi kunci utama dalam menghadapi praktik money laundering yang kian canggih
Pencucian Uang Semakin Canggih, Ancaman Sistemik bagi Ekonomi dan Demokrasi
Di era digital yang terus berkembang, praktik pencucian uang (money laundering) kini menjadi ancaman sistemik yang tak hanya merugikan sektor ekonomi, tetapi juga mencederai integritas hukum, demokrasi, dan stabilitas sosial nasional.
Modus pencucian uang memungkinkan hasil dari tindak pidana mulai dari korupsi, narkotika, perjudian ilegal, hingga kejahatan lingkungan masuk kembali ke sistem keuangan seolah-olah sah. Aktivitas ini bukan hanya kelanjutan dari kejahatan utama, melainkan penghubung yang menjadikan kejahatan terlihat legal, sekaligus memperkuat jaringan kriminal terorganisir.
Berdasarkan data terbaru dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), jumlah laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) menunjukkan tren peningkatan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Meskipun secara bulanan angka pelaporan mengalami fluktuasi, secara tahunan jumlahnya terus naik. Kondisi ini mencerminkan bahwa kejahatan berbasis dana ilegal tak hanya meningkat dari sisi kuantitas, tetapi juga dari segi pola dan teknologi yang digunakan.
“Perkembangan teknologi digital menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, mempercepat layanan keuangan. Di sisi lain, menjadi celah bagi pelaku kejahatan,” ujar seorang pejabat keuangan yang enggan disebut namanya.
PPATK mencatat semakin banyak pelaku kejahatan yang memanfaatkan cryptocurrency, layanan fintech, dan platform perdagangan online untuk menyamarkan jejak transaksi ilegal. Praktik ini mempersulit pelacakan arus uang haram, sekaligus memperluas jangkauan pelaku kejahatan lintas batas negara.
Tak hanya itu, pencucian uang juga mulai merambah sektor politik. Fenomena green financial crime dan masuknya dana hasil kejahatan ke dalam pendanaan kampanye menjadi sorotan serius. Contoh historis seperti Kasus Watergate pada 1970-an di Amerika Serikat menunjukkan bahwa uang kotor dapat merusak demokrasi dari dalam. Ketika dana ilegal menyusup ke ranah kekuasaan dan kebijakan publik, maka yang terancam bukan hanya hukum, tetapi juga kedaulatan negara.
Sayangnya, meskipun tren pelaporan meningkat, efektivitas penindakan hukum terhadap kasus pencucian uang masih tergolong rendah. PPATK sebagai lembaga intelijen keuangan memiliki keterbatasan dalam menindak langsung pelaku. Laporan yang mereka hasilkan masih bergantung pada tindak lanjut aparat penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan.
“Yang jadi masalah bukan hanya jumlah pelaporan, tapi seberapa banyak yang benar-benar diproses dan diadili,” jelas pakar hukum keuangan, Dr. Rendy Prasetya.
Hal ini menjadi tantangan besar dalam memperkuat sistem anti pencucian uang nasional. Tanpa penegakan hukum yang tegas dan sistematis, praktik pencucian uang akan terus berkembang, menyusupi lembaga negara, merusak moral publik, dan mengancam masa depan demokrasi Indonesia.
Uang Haram Makin Pintar Cuci Duit Kini Ancaman Serius Buat Ekonomi dan Demokrasi
Di tengah gempuran era digital, para penjahat keuangan makin lihai. Bukan cuma beraksi, tapi juga nge laundry duit haram mereka lewat sistem yang makin canggih. Hasil korupsi, jualan narkoba, judi ilegal, bahkan kejahatan lingkungan, bisa disulap seolah-olah bersih dan legal. Gila? Banget.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) udah kasih sinyal bahaya. Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) terus naik dari tahun ke tahun. Biar fluktuatif bulanan, tapi grafik tahunan naik terus. Artinya? Duit haram makin banyak, makin pinter nyamar, dan makin susah dilacak.
“Teknologi digital itu ibarat pisau. Bisa buat masak, bisa juga buat nusuk dari belakang,” kata salah satu pejabat keuangan, yang ogah namanya disebut. Dan sayangnya, banyak yang milih jadi penusuk.
Crypto, Fintech, dan Marketplace Ladang Baru Cuci Duit
Bukan lagi lewat koper penuh uang atau rekening bank abal-abal. Sekarang, para pelaku pakai crypto, layanan fintech, dan jual-beli online buat ngelabur jejak uang kotor. Transaksi bisa terjadi lintas negara, lintas platform, dan lintas hukum. Sulit? Banget. Tapi bukan berarti kita bisa tutup mata.
Yang bikin makin serem, aliran dana ilegal ini mulai nyusup ke dunia politik. Yes, politik. Dari skema green financial crime sampai dugaan dana kampanye yang ‘disponsori’ uang haram semuanya bikin demokrasi kita rawan disabotase dari dalam.
Bahkan sejarah udah kasih pelajaran: ingat kasus Watergate di AS? Salah satu skandal politik terbesar itu pecah gara-gara dana kampanye yang disuplai dari sumber gelap. Kalau itu kejadian di Indonesia? Bye-bye integritas dan kedaulatan.
Banyak Laporan, Sedikit Tindakan
Sayangnya, meskipun laporan mencurigakan numpuk, jumlah kasus yang beneran diproses hukum masih minim. PPATK, meski tajam dalam analisis, tetap bukan lembaga penindak. Semua tergantung apakah laporan mereka di-follow up polisi, jaksa, atau KPK.
“Masalahnya bukan cuma di laporan, tapi di eksekusi hukumnya. Laporan bisa numpuk, tapi kalau gak diadili, ya percuma,” jelas Dr. Rendy Prasetya, pakar hukum keuangan.
Jangan Anggap Remeh
Pencucian uang itu bukan sekadar aksi kriminal. Ini adalah penyakit sistemik yang bisa melumpuhkan ekonomi, merusak moral publik, dan mencabik-cabik demokrasi. Kalau negara lengah, pelaku akan terus bermain, menyusup ke mana mana bahkan sampai ke ruang-ruang kekuasaan.
Pencucian Uang Bukan Sekadar Drama Kriminal Banyak Celah, Banyak Kendala, Duit Haram Masih Leluasa
Jangan bayangkan pencucian uang cuma ada di film aksi Hollywood. Di dunia nyata, kasus-kasus ini lebih senyap, lebih ruwet, dan kadang malah lolos begitu saja.
Koordinasi antar lembaga hukum di Indonesia ibarat orkestra yang belum akur nadanya. Bukannya saling menguatkan, seringnya tumpang tindih, lambat, bahkan tersendat gara-gara ego sektoral. Belum lagi regulasi yang setengah jalan.
UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) memang sudah ada sejak 2010, tapi sampai sekarang, dua senjata utama yang krusial RUU Perampasan Aset dan regulasi pembatasan transaksi tunai masih jalan di tempat. Akibatnya? Aset hasil kejahatan gagal disita, pelaku pun masih bebas lari-lari sambil bawa duit haram.
Dalam forum kolaborasi bareng BNN, MA, dan Kejagung, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana blak-blakan soal ini. Dari 89 ribu pihak pelapor, baru 42 ribu yang benar-benar terdaftar. Itu artinya, masih banyak aliran dana mencurigakan yang belum nongol di sistem goAML platform resmi pelaporan transaksi mencurigakan.
Belum cukup sampai situ. Pengawasan dana politik dan kampanye juga lemah. Ini bukan cuma soal keuangan, tapi juga soal kuasa. Duit haram bisa jadi amunisi politik. Dan kalau ini dibiarkan, pencucian uang bisa berubah jadi mesin kooptasi kekuasaan.
Masalahnya, masyarakat juga belum banyak yang paham. Banyak yang anggap pencucian uang itu urusan “atasan”, teknis, atau sekadar istilah ekonomi ribet. Padahal, dampaknya konkret: uang negara bocor, ketimpangan melebar, lembaga publik tercemar.
Ditambah lagi, kejahatan keuangan sekarang makin canggih, digital, dan lintas negara. Tanpa kerja sama internasional yang solid dan pertukaran data lintas yurisdiksi, Indonesia bakal terus ketinggalan langkah.
Lebih lanjut kita bahas ini
Bukan Cuma Senjata, Uang Kotor Juga Bisa Mengoyak Negara Saatnya Bela Negara Lewat Dompet dan Nilai Pancasila
Pelaku pencucian uang makin lihai, lintas batas, dan bersenjata teknologi. Sementara itu, pemahaman nilai kebangsaan rakyat kita justru makin samar. Apakah ini sinyal bahaya?
Dulu, membela negara berarti angkat senjata. Kini, kadang cukup dengan angkat kesadaran… terutama soal uang. Bukan uang biasa, tapi uang yang dicuci sampai kinclong, padahal asal-usulnya bau amis korupsi, narkotika, hingga terorisme.
Dalam dunia yang makin digital, para pelaku money laundering tak lagi pakai koper dan pelabuhan gelap. Mereka pakai klik, koneksi internasional, dan celah hukum yang tak sempat ditambal. Negara jadi repot. Apalagi kalau uang kotor itu sudah berpindah ke luar negeri. Pelacakan lintas batas? Ribet. Pembekuan aset? Bisa makan waktu dan birokrasi lintas negara.
“Indonesia bakal kesulitan menghadapi pelaku pencucian uang yang beroperasi lintas negara dengan jaringan dan teknologi yang canggih,” ujar seorang analis keuangan yang ogah disebut namanya.
Wawasan Kebangsaan Antivirus Ideologis?
Di tengah gempuran digital dan kejahatan keuangan yang makin “berkelas,” nilai-nilai kebangsaan justru mulai kabur. Menurut survei SMRC (Mei 2022), meskipun 95,4% responden mengaku tahu Pancasila, hanya 64,6% yang bisa menyebutkan kelima silanya dengan benar. Sisanya? Masih bingung, bahkan ada yang tak bisa sebut satu pun.
“Ini rawan banget. Kalau dasar negara saja lupa, gimana bisa bela negara dari ancaman modern seperti pencucian uang?” kata Prof. Dr. Irfan Idris dalam tulisannya (2019).
Wawasan kebangsaan bukan sekadar hafalan lima sila. Ia adalah fondasi moralsejenis GPS ideologis yang seharusnya bikin kita ogah kompromi pada kejahatan finansial. Sebab uang kotor tak cuma merusak ekonomi, tapi bisa membiayai kehancuran bangsa secara perlahan dan sistematis.
Bela Negara di Era Dompet Digital
Kini, “bela negara” sudah jauh dari sekadar mengangkat bambu runcing. Di era modern, bela negara juga berarti melindungi tanah air dari infiltrasi finansial: dari skema pencucian uang, penggelapan pajak, sampai penggunaan aset ilegal untuk membiayai aktivitas gelap.
Nilai seperti cinta tanah air, kesetiaan pada Pancasila, dan kerelaan berkorban, harus hadir juga saat kita menolak tawaran “cuan cepat” dari sumber tak jelas, atau saat kita berani melaporkan transaksi mencurigakan.
Melawan money laundering bukan sekadar urusan polisi atau PPATK. Ini tentang kita semua. Karena hari ini, membela negara bukan cuma tentang siapa yang paling berani di medan tempur tapi siapa yang paling teguh di medan prinsip.
Lawan Pencucian Uang, Bukan Cuma Tugas Pemerintah Masyarakat Juga Harus BeraniLapor
Cinta tanah air enggak cukup cuma di mulut. Di era digital dan transaksi serba instan, menjaga integritas sistem keuangan jadi bentuk bela negara yang nyata. Salah satunya? Aktif melawan praktik pencucian uang.
Pencucian uang (money laundering) bukan sekadar kejahatan finansial. Dampaknya merembet ke ekonomi, hukum, bahkan kedaulatan bangsa. Karena itu, melawan praktik ini butuh kolaborasi semua pihak: pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat luas.
“Melaporkan transaksi mencurigakan atau menolak terlibat dalam transaksi ilegal itu bukan sekadar aturan, tapi bentuk nyata cinta pada negeri,” ujar seorang pejabat PPATK kepada awak media.
Langkah-langkah kecil, seperti menolak ikut dalam praktik gratifikasi atau pengaburan asal-usul dana, hingga berani SpeakUp jika mencium transaksi mencurigakan, adalah bentuk kontribusi yang sangat berarti.
Pemerintah sendiri terus menggencarkan berbagai upaya. Kementerian Keuangan misalnya, telah menyelaraskan kebijakan soal pembawaan uang tunai lintas batas sejak 2022. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga aktif mendorong penerapan prinsip Know Your Customer (KYC) di semua lembaga keuangan, demi meminimalisir risiko pencucian uang.
Namun upaya tersebut tidak akan maksimal tanpa dukungan kolektif. Kesadaran masyarakat dan dunia pendidikan penting untuk membentuk budaya sadar risiko, terutama di era digital yang penuh celah.
“Money laundering bukan hanya soal angka, tapi soal masa depan bangsa,” tegas OJK dalam pernyataan resminya awal 2024.
Melawan pencucian uang bukan hanya tugas pemerintah atau bank semata. Saat warga negara berani melapor, menolak ikut-ikutan, dan menyebarkan kesadaran lewat media sosial, di situlah sinergi kebangsaan benar-benar hidup. Yuk, jadikan kejujuran sebagai gaya hidup! Cuci Uang, Cuci Tangan Tiga Pilar Melawan Kejahatan Finansial
Di tengah derasnya arus uang digital dan makin canggihnya kamuflase keuangan haram, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan bukan hanya penting tapi wajib. Tanpa itu, upaya memberantas pencucian uang (money laundering) hanya akan jadi seremonial belaka sibuk di atas, bocor di bawah.
Pemerintah memegang peran sebagai penjaga gerbang. Regulasi harus tegas, tidak boleh sekadar formalitas. Lembaga seperti PPATK sudah ada, tapi tanpa pengawasan yang tajam dan independen, mereka hanya jadi satpam berpakaian rapi di gedung megah, tak bisa mencegah perampokan yang masuk dari pintu belakang.
Masyarakat juga tidak boleh sekadar jadi penonton. Kewaspadaan terhadap transaksi mencurigakan, penolakan terhadap praktik keuangan ilegal, dan keberanian melapor jadi bentuk nyata bela negara zaman now. Diam saja ketika tahu uang haram beredar, sama saja ikut menghidupi sistem yang mencuri dari anak cucu kita sendiri.
Lembaga pendidikan pun tak bisa terus menerus hanya mendidik anak-anak menjadi pintar, tapi harus juga mendidik agar tidak licik. Literasi finansial, integritas, dan kesadaran hukum harus diajarkan sejak dini bukan hanya soal menabung di celengan ayam, tapi juga soal bagaimana tidak tergoda jadi penadah kejahatan kerah putih.
Ketiganya pemerintah, masyarakat, dan pendidikan membentuk segitiga strategis yang mampu menghadirkan ekosistem anti pencucian uang berbasis partisipatif, preventif, dan berkelanjutan.
TantanganDunia Bergerak, Hukum Tertinggal
Masalahnya, dunia bergerak cepat hukum kita masih pakai sandal jepit. Perkembangan teknologi finansial (fintech) dan aset digital seperti kripto berlari kencang, sementara regulasi masih sibuk mencari definisi. Koordinasi antar lembaga belum serapat yang diharapkan. Penegakan hukum? Masih pilih-pilih target, kadang tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Rendahnya literasi finansial dan kesadaran hukum masyarakat memperparah situasi. Banyak yang tak sadar sedang ikut dalam skema pencucian uang karena dibungkus kata kata manis seperti investasi, donasi, atau sedekah digital.
Implikasinya serius jika negara tidak memperkuat sinergi kelembagaan, memperbarui regulasi secara adaptif, dan meningkatkan kapasitas SDM yang mengerti kripto, sistem keuangan bisa jebol. Dan ketika keuangan jebol, jangan heran kalau kedaulatan ekonomi ikut remuk.
Bela Negara, Bukan Cuma Angkat Senjata
Pencucian uang bukan hanya masalah hukum, tapi juga soal nilai dan kebangsaan. Wawasan kebangsaan kini tak cukup hanya jadi hafalan upacara bendera. Ia harus jadi fondasi moral untuk menjaga integritas keuangan negara.
Bela negara tak lagi sebatas menenteng senjata. Ia berubah bentuk menjadi ketegasan dalam menolak suap, keberanian melaporkan transaksi haram, dan kesadaran bahwa mencintai tanah air juga berarti menjaga agar uang rakyat tidak dicuci oleh segelintir elite rakus.
Melalui internalisasi nilai cinta tanah air, kesetiaan pada Pancasila, dan kesadaran hukum, setiap unsur bangsa baik pemerintah, masyarakat, maupun lembaga pendidikanpunya peran dalam menjaga dompet negara tetap bersih dari noda pencucian.
Kalau tidak sekarang, kapan? Kalau bukan kita, siapa? Dan kalau dibiarkan, jangan kaget kalau nanti uang haram yang berkuasa, dan keadilan cuma jadi slogan.
Perang Lawan Uang Kotor Pemerintah, Masyarakat, dan Kampus Harus Kompak, Bro!
Di balik geliat ekonomi digital yang makin menggila, ada satu hantu yang diam diam terus ngintai: pencucian uang alias money laundering. Tapi tenang, ada harapan asalkan tiga elemen bangsa ini kompak: pemerintah, masyarakat, dan dunia pendidikan.
Yup, kolaborasi ketiganya bukan cuma penting, tapi vital banget. Pemerintah kudu gercep dengan regulasi yang nggak kaleng-kaleng, sambil nguatkan pengawasan lewat lembaga andalan kayak PPATK. Di sisi lain, masyarakat juga punya peran kece: jadi mata-mata kebaikan dengan laporin transaksi mencurigakan, tolak terlibat di duit haram, dan melek hukum serta finansial.
Dan jangan lupakan kampus serta sekolah, ya. Tempat ini harus jadi pabrik nilai integritas dari ngajarin literasi finansial sampai menanamkan kesadaran hukum sejak dini. Harapannya? Lahirlah generasi yang anti money laundering dari orok!
Tantangan Duit Haram Makin Canggih, Regulasi Masih Ketinggalan Zaman
Tapi perjuangan ini nggak semudah menghapus histori chat. Ada banyak tantangan yang siap ngegas dari segala penjuru. Mulai dari teknologi finansial yang berkembang kilat, regulasi yang belum nyentuh dunia kripto, sampai koordinasi lembaga yang masih suka skip meeting penting.
Belum lagi PR besar literasi finansial masyarakat yang masih zonk dan penegakan hukum yang belum sepenuhnya tajam. Kalau dibiarkan, bukan cuma ekonomi yang babak belur, tapi integritas negara bisa ikutan anjlok
Bela Negara Bukan Cuma Angkat Senjata, Tapi Juga Lawan Duit Haram!
Di era digital ini, wawasan kebangsaan dan bela negara punya ‘upgrade makna’. Bukan cuma soal jaga perbatasan atau ikut latihan militer, tapi juga soal menjaga negeri dari serangan duit haram yang bisa ngerusak sendi bangsa diam-diam.
Caranya? Tanamkan dalam hati cinta tanah air, loyal ke Pancasila, dan sadar hukum. Kalau semua elemen pemerintah, masyarakat, dan dunia pendidikan kompak dan bergerak bareng, kita bukan cuma bisa ngegas pembangunan, tapi juga ngebentengin Indonesia gdari pencucian uang dan kejahatan finansial lain yang licin kayak belut Author: julita Nurul Astria